Sejarah Pondok Pesantren Tebu Ireng Diwek Jombang - Tebuireng adalah nama sebuah pedukuhan 
yang termasuk wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, 
Kabupaten Jombang, berada pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah 
selatan. Nama pedukuhan seluas 25,311 hektar ini kemudian dijadikan nama
 pesantren yang didirikan oleh Kiai Hasyim.
Baca juga
1. Kasiat Surat Al Waqiah Agar Rezeki Lancar
2. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al Munawwwir Jogjakarta
3. Botol Ajaib Abu Nawas
Baca juga
1. Kasiat Surat Al Waqiah Agar Rezeki Lancar
2. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al Munawwwir Jogjakarta
3. Botol Ajaib Abu Nawas
Menurut penuturan masyarakat sekitar, nama Tebuireng berasal dari kata ”kebo ireng”
 (kerbau hitam). Konon, ada seorang penduduk yang memiliki kerbau 
berkulit kuning. Suatu hari, kerbau tersebut menghilang dan setelah 
dicari kian kemari, kerbau itu ditemukan dalam keadaan hampir mati 
karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur 
tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula berwarna kuning
 kini berubah menjadi hitam. Peristiwa ini menyebabkan pemilik kerbau 
berteriak ”kebo ireng …! kebo ireng …!” Sejak sat itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama Kebo Ireng.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika penduduk dusun tersebut mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng.
 Tidak diketahui dengan pasti kapan perubahan itu terjadi dan apakah hal
 itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun 
tersebut, yang banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu? Karena 
ada kemungkinan, karena tebu yang ditanam berwarna hitam maka dusun 
tersebut berubah nama menjadi Tebuireng.
Berdirinya Pesantren Tebuireng Jombang
Pada penghujung abad ke-19, di sekitar 
Tebuireng bermunculan pabrik-pabrik milik orang asing (terutama pabrik 
gula). Bila dilihat dari aspek ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik 
tersebut memang menguntungkan karena akan membuka banyak lapangan kerja.
 Akan tetapi secara psikologis justru merugikan, karena masyarakat belum
 siap menghadapi industrialisasi. Mereka belum terbiasa menerima upah 
sebagai buruh pabrik. Upah yang mereka terima biasanya digunakan untuk 
hal-hal yang bersifat konsumtif-hedonis. Budaya judi dan minum minuman 
keras pun menjadi tradisi.
Ketergantungan rakyat terhadap 
pabrik kemudian berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang 
memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah. Diperparah lagi oleh gaya 
hidup masyarakat yang amat jauh dari nilai-nilai agama.
Kondisi ini menyebabkan keprihatinan
 mendalam pada diri Kiai Hasyim. Beliau kemudian membeli sebidang tanah 
milik seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26 
Rabiul Awal 1317 H (bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M.), Kiai 
Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu 
(Jawa: tratak), berukuran 6 X 8 meter.
 Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang 
dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah, 
dan bagian depan dijadikan tempat salat (mushalla). Saat itu santrinya 
berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Kehadiran Kiai Hasyim di Tebuireng tidak
 langsung diterima dengan baik oleh masyarakat. Gangguan, fitnah, hingga
 ancaman datang bertubi-tubi. Tidak hanya Kiai Hasyim yang diganggu, 
para santripun sering diteror. Teror itu dilakukan oleh 
kelompok-kelompok yang tidak menyukai kehadiran pesantren di Tebuireng. 
Bentuknya beraneka ragam. Ada yang berupa pelemparan batu, kayu, atau 
penusukan senjata tajam ke dinding tratak. Para santri seringkali harus tidur bergerombol di tengah-tengah ruangan, 
karena takut tertusuk benda tajam. Gangguan juga dilakukan di luar 
pondok, dengan mengancam para santri agar meninggalkan pengaruh Kiai 
Hasyim. Gangguan-gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah 
tahun, sehingga para santri disiagakan untuk berjaga secara bergiliran.
Ketika gangguan semakin membahayakan dan
 menghalangi sejumlah aktifitas santri, Kiai Hasyim lalu mengutus 
seorang santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, guna menamui Kiai 
Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai samsuri Wanantara, dan Kiai 
Abdul Jamil Buntet. Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. 
Mereka sengaja didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan 
kanuragan selama kurang lebih 8 bulan.
Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak 
silat ini, para santri tidak khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. 
Bahkan Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan 
penjahat sering beradu fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan 
mudah. Bahkan banyak diantara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu 
pencak silat dan bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu 
Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin 
masyarakat.
Baca juga :
1. Naik Bis Haram
2. Profil Pondok Pesantren As Salafy Terpadu Ar Risalah Lirboyo Kediri
3. Review NET TV
Baca juga :
1. Naik Bis Haram
2. Profil Pondok Pesantren As Salafy Terpadu Ar Risalah Lirboyo Kediri
3. Review NET TV
Selain dikenal memiliki ilmu pencak 
silat, Kiai Hasyim juga dikenal ahli di bidang pertanian, pertanahan, 
dan produktif dalam menulis. Karena itu, Kiai Hasyim menjadi figur yang 
amat dibutuhkan masyarakat sekitar yang rata-rata berprofesi sebagai 
petani. Ketika seorang anak majikan Pabrik Gula Tjoekir berkebangsaan 
Belanda, sakit parah dan kritis, kemudian dimintakan air do’a kepada 
Kiai Hasyim, anak tersebut pun sembuh.

