Muncul   diskriminasi pendidikan agama dengan pendidikan umum pertama kali oleh   penjajahan Belanda. Belanda memandang pendidikan yang berbasis  pesantren  (boarding school) sebagai ancaman kekuasaan penjajahan.  Kekawatiran Belanda  adalah pesantren berbasis pada kekuatan masyarakat.  Maksudnya adalah system  pesantren memberdayakan peran masyarakat dalam  membangun institusinya.  Fleksibilitas dalam pembiayaan menjadikan  pesantren dekat di hati masyarakat.  Maka tidak mengherankan jika  menghasilkan kader-kader militan. Pada gilirannya  kader-kader tersebut  menjadi pejuang mempertahankan kedaulan bangsa dengan  menentang  penjajahan.          
                                  
Diskriminatif   atau pemisahan ruang gerak pendidikan agama dan pendidikan umum  berjalan terus  hingga zaman pemerintahan ORDE BARU dan bahkan hingga  saat ini. Kita dapat  lihat porsi pendidikan agama hanya dua jam mata  pelajaran saja setiap pekannya.  Minimnya alokasi waktu untuk pendidikan  agama di sekolah formal menjadikan  gagal dalam membentuk moral atau  akhlakul karimah. Pendidikan formal hanya  mengedepankan pencapaian  nilai kognitif saja. Lihat saja kasus UAN yang hanya  mengakui tiga mata  pelajaran sebagai standart kelulusan. Sedangkan moral,  akhlak dan budi  pekerti serta kecerdasan lainnya diabaikan, tidak difungsikan  lagi.  Sangat pantas jika hasil moral pendidikan formal adalah moral yang   bobrok. Kenakalan, perkelahian, pembunuhan dan pemerkosaan menjadi  tradisi di  kalangan pelajar. Kita dapat menyimak kasus anak SD yang  memperkosa temannya di  Kab. Trenggalek, anak SD membunuh anak TK di  Kab. Kediri,  anak SMA menculik dan membunuh  temannya di Kab Blitar dan kasus amoral  lainnya. Hasil pendidikan formal adalah  tidak mampu menghasilkan  kedewasaan dan kemandirian. Lihat saja penumpukan  pengangguran sarjana.  Lebih-lebih hasil pendidikan tingkat SLTP dan SLTA tidak  memiliki  intergritas kepribadian sama sekali. Lulusan pendidikan formal selalu   menimbulkan masalah dalam pekerjaan. Disamping itu pendidikan formal  yang  dikenalkan dan dibawa oleh penjajah Belanda tidak ramah  lingkungan. Tidak mampu  menampung aspirasi masyarakat. Cenderung  memerlukan pembiayaan yang mahal.  Akibatnya yang dapat menikmati hanya  orang yang memiliki modal. Bahkan sekarang  berkembang model pendidikan  formal dijadikan perusahaan bisnis.            
Berpijak   pada titik lemah tersebut selayaknya kita mendiskusikan ulang  keunggulan sistem  pendidikan pesantren. Dari sejarah panjang pendidikan  di Indonesia,  sistem pesantren telah terbukti keuletan dan ketahanannya. Paling tidak kita  menemukan kelebihannya adalah: Pertama,   sistem ini memberi nilai pendekatan individual sangat tinggi sehingga    pengawasan moral peserta didik dapat diberlakukan selama 24 jam. Kedua, para pengajarnya, kyai dan  ustadz sebagai modelling. Mereka berperan sebagai contoh keteladanan dalam  prilaku. Ketiga,  penerapan teori dalam praktek keseharian. Bahkan yang selalu diterapkan adalah  konsep pendidikan learning by doing. Keempat,  pembiayaan sangat murah dan terjangkau. Kelima,  memiliki integritas, komotmen,  kejujuran dan nilai-nilai perjuangan  para insan pengelola pesantren  keseluruhan. Hal ini berakibat pada  pembentukan karakteristik peserta didik.  Keberhasilan pesantren dalam  membentuk kader layak dijadikan pertimbangan para  orang tua memilih  pendidikan bagi putra-putrinya. 
  
source : hhttp://www.lembaharafah.or.id
  
