Asal-Usul Pesantren dan Perkembangannya - Kedatangan Islam di Indonesia  telah banyak memberi pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan  masyarakatnya. Khususnya di Jawa yang mempunyai banyak sejarah dan  kebudayaan yang mengakar. Hal itu bisa berupa budaya, kesenian, ritual,  dan pendidikan. Lembaga pendidikan  memberikan  warna tersendiri bagi sejarah islam di jawa, karena dengan media  pendidikanlah ajaran islam disebarluaskan kepada masyarakat. Pengaruh Walisongo  tak pernah lepas dari peranan ini, karena merekalah yang mempunyai  andil besar terhadap perkembangan agama islam. Pendekatan yang dilakukan  walisongo sangat efektif untuk mengajak orang-orang yang kala itu masih  beragama hindu-budha. Dengan kebudayaan, kesenian dan tentunya cara  yang halus membuat orang-orang lebih simpati dan tertarik.
  
Jika kita mengkaji tentang sejarah budaya  Jawa dan pendidikan, maka pesantren merupakan institusi yang tak dapat  ditinggalkan. Menurut Dawam rahardjo bahwa pondok adalah hasil  penyerapan akulturasi dari masyarakat Indonesia terhadap kebudayaan  Hindu-Budha dan Kebudayaan Islam yang kemudian menjelmakan suatu lembaga yang lain dengan warna Indonesia.
  
Melalui konsep dan model pembelajaran  pesantren yang sederhana ini kemudian dilanjutkan oleh para Ulama sampai  sekarang. Hal itu menunjukkan keberhasilan Walisongo khususnya Maulana Malik Ibrahim yang pertama kali memperkenalkan pesantren.
1. Sejarah pondok pesantren
Pondok secara etimologis berarti bangunan untuk sementara, rumah, bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak yang berdinding bilik, madrasah dan asrama (tempat mengaji atau belajar agama islam).[1] “Pondok” yang biasa dipakai dalam tradisi Pasundan dan Jawa untuk menyebutkan asrama tempat belajar agama islam sebenarnya tidak sama sekali asli nusantara, tetapi merupakan hasil penyerapan dari bahasa arab al funduuq yang berarti hotel atau tempat penginapan, pesanggrahan atau tempat penginapan bagi orang yang bepergian. Hal yang terakhir ini beralasan karena tempat belajar para siswa dalam tradisi Hindu Budha dikenal dengan istilah asyrama dan mandala, bukan pondok (al funduuq).
Adapun term “pesantren” secara etimologis  berasal dari pe-santri-an yang berarti tempat santri, asrama tempat  santri belajar agama atau pondok. Sedangkan terminologi “santri” sendiri  menurut Zamakhsyari Dhofier berasal dari ikatan kata “sant” (manusia  baik) dan tri (suka menolong) sehingga santri berarti manusia baik yang  suka menolong secara kolektif. Pendapat berbeda dari Prof. John  mengatakan bahwa santri dalam bahasa Tamil berarti guru mengaji.
  
Pendapat berbeda pula datang dari  Clifford Geertz berpendapat bahwa santri berasal dari bahasa India atau  Sansekerta “shastri” yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis dan  kaum terpelajar. Ada juga yang berpendapat bahwa saantri berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang mengikuti seorang guru, kemana guru menetap.
  
Pesantren merupakan lembaga pendidikan  yang unik di Indonesia. Lembaga ini telah berkembang khususnya di Jawa  selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim salah satu spiritual father  Walisongo yang meninggal tahun 1419 di Gresik dalam masyarakat Jawa  biasanya dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di tanah Jawa.  [2]
  
Seperti yang telah dijelaskan diatas,  bahwa pesantren adalah institusi pendidikan islam tertua di Indonesia.  Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu pula Sunan Ampel  mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat  pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang  untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal  dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
  
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal  berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah  menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di  daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren  dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.
  
Mengenai pendirian dan pelembagaan  pesantren pertama kali, baru muncul pada pertengahan abad ke-18 M. Dari  pesantren-pesantren kuno yang terlacak, pesantren Tegalsari Panaraga  yang didirikan tahun 1742 adalah pesantren paling tua. Pada akhir abad  18 M, lembaga pesantren di Jawa semakin bertambah dan mengalami  perkembangan pesat. Hal itu terjadi pada rentang abad ke-19 M. Dengan  demikian, dapat disimpulkan bahwa pesantren muncul pada abad ke-18 M dan  melembaga pada abad ke-19 M.
  
Dulu, pusat pendidikan Islam adalah  langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di  lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar  biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan  orang tua sehari-hari. Banyaknya murid dan datang dari berbagai  daerahlah kemudian dibangun bilik-bilik sederhana untuk ditempati  sehari-hari bagi para santri. Pesantren di Jawa masa itu pada umunya  jauh dari kota besar atau terletak di pedalaman.[3]
  
Ada beberapa pendapat mengenai proses  lahirnya pesantren, perbedaan pendangan ini dapat dikategorikan menjadi  dua pendapat, yaitu:
  
Pertama, kelompok ini berpendapat bahwa  pesantren merupakan hasil kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami  persentuhan budaya dengan budaya pra islam. Pesantren merupakan sistem  pendidikan islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan  Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan asyrama atau mandala dalam  khazanah lembaga pendidikan pra islam.
  
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa  pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur-Tengah. Kelompok  ini berpendapat meragukan kebenaran pendapat yang menyatakan bahwa  lembaga pendidikan asyrama dan mandala yang sudah ada sejak zaman  Hindu-Budha merupakan tempat berlangsungnya praktek pengajaran tekstual  sebagaimana di pesantren. Termasuk dalam kelompok ini adalah Martin Van  Bruinessen, salah seorang sarjana Barat yang concern terhadap sejarah  perkembangan pesantren di Indonesia.[4]
  
Martin menjelaskan bahwa pesantren  cenderung lebih dekat dengan salah satu model sistem pendidikan di Al  Azhar dengan sistem pendidikan riwaq yang didirikan di pada akhir abad  ke 18 M.
  
Menurut Zuhairini (1997:212),  tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi  embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti  bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti  sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam  waktu yang lebih lama.
  
Pada awal rintisannya pesantren tidak  hanya menekankan misi pendidikan, melainkan juga dakwah. Bahkan, misi  dakwah ini justru lebih menonjol. Lazimnya, baik pesantren yang berdiri  pada awal pertumbuhannya maupun pada abad ke-19 dan ke-20, pada awal  perjuangannya masih terus menghadapi kerawanan-kerawanan sosial dan  polemik keagamaan.
2. Sejarah Pendidikan di Jawa
A. Pendidikan pra Islam
Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
  Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa,  tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga  ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan.  Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah  atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk,  batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini  dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas.  Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang  bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan  demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang  saja.
  
Istilah kedua adalah mandala, atau  disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan  tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan  atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan  mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan  seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut  dipimpin oleh dewaguru.
  
Berdasarkan keterangan yang terdapat pada  kropak 632 yang menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang  di tempat sampah daripada rajaputra (penguasa nagara) yang tidak mampu  mempertahankan kabuyutan atau mandala hingga jatuh ke tangan orang lain,  dapat diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat  pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara  mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan.  Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan  spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan  gaib.
  
Dengan demikian masyarakat yang tinggal  di mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu  negara, keamanan masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan  sikap raja terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu  memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang  bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta/wiku dan  murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.
  
B. Masa Islam Masuk
Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem pendidikan itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat menginap).
  Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem pendidikan itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat menginap).
Bentuk lainnya adalah, tentang pemilihan  lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari  permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota  besar. Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung  Muria, Jawa Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas sebuah bukit  yang bernama Giri, dekat Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187).  Pemilihan lokasi tersebut telah mencontoh ”gunung keramat” sebagai  tempat didirikannya karsyan dan mandala yang telah ada pada masa  sebelumnya (De Graaf & Pigeaud, 1985: 187).
  
Seperti halnya mandala, pada masa Islam  istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok”, istilah tersebut  menjadi nama sebuah kawasan yang khas di kota-kota Islam, seperti  Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari  kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti  yang sama, yaitu “tempat pendidikan. Dengan demikian padepokan atau  pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan  sistem pendidikan sebelumnya.
  
Adanya pesantren di Jawa tidak lepas dari  peranana walisongo. Pengaruhnya bisa dipahami karena kesuksesan mereka  yang luar biasa dalam mengislamkan secara damai dan rekonsiliasinya  dengan nilai dan kebiasaan lokal. Pendekatan walisongo kemudian secara  berkesinambungan melalui institusionalisasi pesantren.[5]
  
C. Peran Walisongo dalam bidang Pendidikan
Sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan pondok pesantren tidak lepas dari penyebaran Islam di bumi nusantara, sedangkan asal-usul sistem pendidikan pondok pesantren dikatakan Karel A. Steenberink peneliti asal Belanda berasal dari dua pendapat yang berkembang yaitu; pertama dari tradisi Hindu. Kedua, dari tradisi dunia Islam dan Arab itu sendiri.[1]
  Sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan pondok pesantren tidak lepas dari penyebaran Islam di bumi nusantara, sedangkan asal-usul sistem pendidikan pondok pesantren dikatakan Karel A. Steenberink peneliti asal Belanda berasal dari dua pendapat yang berkembang yaitu; pertama dari tradisi Hindu. Kedua, dari tradisi dunia Islam dan Arab itu sendiri.[1]
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa  pesantren berasal dari tradisi Hindu berargumen bahwa dalam dunia Islam  tidak ada system pendidikan pondok dimana para pelajar menginap di suatu  tempat tertentu disekitar lokasi guru. I.J. Brugman dan K. Meys yang  menyimpulkan dari tradisi pesantren seperti; penghormatan santri kepada  kiyai, tata hubungan keduanya yang tidak didasarkan kepada uang, sifat  pengajaran yang murni agama dan pemberian tanah oleh Negara kepada para  guru dan pendeta. Gejala lain yang menunjukkan azas non-Islam pesantren  tidak terdapat di Negara-negara Islam.[2]
  
Pendapat kedua yang menyatakan bahwa  system pondok pesantren merupakan tradisi dunia Islam menghadirkan bukti  bahwa di zaman Abasiah telah ada model pendidikan pondokan. Muhammad  Junus, misalnya mengemukakan bahwa model pembelajaran individual seperti  sorogan, serta system pengajaran yang dimulai dengan baljar tata bahasa  Arab ditemukan juga di Bagdad ketika menjadi pusat ibu kota  pemerintahan Islam. Begitu juga mengenai tradisi penyerahan tanah wakaf  oleh penguasa kepada tokoh religious untuk dijadikan pusat keagamaan.[3]
  
Terlepas dari perbedaan para pakar  mengenai asal tradisinya, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua  di Indonesia. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa pesantren adalah warisan  budaya para pendahulu. Jika pun tradisi pesantren berasal dari  Hindu-India atau Arab-Islam, bentuk serta corak pesantren Indonesia  memiliki ciri khusus yang dengannya kita bisa menyatakan bahwa pesantren  Indonesia adalah asli buatan Indonesia, indigenous.
  
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa  sejarah pesantren setua sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Kemudian  yang menjadi pertanyaan adalah siapa tokoh yang pertama kali  mengakflikasikan system pendidikan pesantren di Indonesia? Nama Maulana  Malik Ibrahim pioneer Wali Songo disebut sebagai tokoh pertama yang  mendirikan pesantren.
  
Maulana Malik Ibrahim atau lebih terkenal  sebagai Sunan Gresik adalah seorang ulama kelahiran Samarkand, ayahnya  Maulana Jumadil Kubro keturunan kesepuluh dari Husein bin Ali. Pada  tahun 1404 M, Maulana Malik Ibrahim singgah di desa Leran Gresik Jawa  Timur setelah sebelumnya tingal selama 13 tahun di Champa.
  
Perjalanan Maulana Malik Ibrahin dari  Champa ke Jawa adalah untuk mendakwahkan agama Islam kepada para  penduduknya. Di Jawa, beliau memulai hidup dengan membuka warung yang  menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah. Untuk melakukan proses  pendekatan terhadap warga, Maulana Malik Ibrahim juga membuka praktek  ketabiban tanpa bayaran. Kedermawanan serta kebaikan hati, pedagang  pendatang ini membuat banyak warga bersimpati kemudian menyatakan masuk  Islam dan berguru ilmu agama kepadanya.
  
Pengikut Sunan Gresik semakin hari  semakin bertambah sehingga rumahnya tidak sanggup menampung murid-murid  yang datang untuk belajar ilmu agama Islam. Menyadari hal ini, Maulana  Malik Ibrahim yang juga dikenal sebagai Kakek Bantal mulai mendirikan  bangunan untuk murid-muridnya menuntut ilmu. Inilah yang menjadi cikal  bakal pesantren di Indonesia.[4]
  
Meski begitu, tokoh yang dianggap  berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti yang  sesungguhnya adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Ia mendirikan  pesantren pertama di Kembang Kuning kemudian pindah ke Ampel Denta,  Surabaya dan mendirikan pesantren kedua di sana.[5] Dari pesantren Ampel  Denta ini lahir santri-santri yang kemudian mendirikan pesantren di  daerah lain, diantaranya adalah Syekh Ainul Yakin yang mendirikan  pesantren di desa Sidomukti, Selatan Gresik dan Maulana makdum Ibrahim  yang mendirikan pesantren di Tuban.
 Rujukan: [1] MU YAPPI, Manajemen…, hal.26.[2] H. Rohadi dkk, Rekontruksi…, hal.13.
[3] MU YAPPI, Manajemen…, hal.28.
[4] LIhat, Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo, hal. 19-20.
[5] LIhat, H. Rohadi dkk, Rekontruksi…, hal.14.
D. Pasca Indonesia Merdeka
Setelah melewati masa-masa sulit akibat penjajahan perang, selanjutnya pesantren memasuki era pascakemerdekaan dan berkiprah di zaman pembangunan. Secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di negara-negara maju, khususnya dalam mengejar keserbaterbelakangan di berbagai sektor kehidupan.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai  wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno  cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang  berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan  dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia  di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan  memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok  masyarakat tanpa memandang kelas sosial.
  
Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor  guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan di  luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air  untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan  ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena  diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah  merupakan suatu era di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar  dengan yang lain, serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan  pendidikan.
  
Pada masa ini tek ketinggalan pula  pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan islam juga turut andil  dalam membangun dan memajukan pendidikan di indonesia. Terdapat  bukti-bukti sejarah bahwa tidak sedikit putra terbaik bangsa yang  ditempa di pesantren. Mereka tidak hanya terlibat dalam perjuangan  fisik, tetapi ikut andil bagian dalam mendirikan bangsa dan mengisi era  kemerdekaan. Sejalan dengan itu, tidak berlebihan seandainya pada  periode tahun 1959-1965 pesantren disebut “alat revolusi” dan penjaga  keutuhan Indonesia.
IV. Epilog
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan  bahwa pendidikan islam di jawa sangat dipengaruhi oleh keberadaan  Walisongo. Diawali dengan dakwah beliau yang menggunakan pendekatan  kultural sehingga segera mendapat sambutan yang baik dari massyarakat  kala itu.
  
Awalnya kegiatan dakwah dan pengajaran  dilakukan di langgar atau surau-surau kecil pada malam hari, sehingga  tidak mengganggu waktu bekerja dan membantu orang tua di pagi hari.  Kegiatan meliputi belajar membaca Al Qur’an, penyampaian ajaran islam  dan lainnya. Semakin banyak murid (santri) yang datang dari luar  daerahlah yang membuat dibangunnya bilik-bilik untuk ditinggali.
  
Terlepas dari dinamika sistem  sosio-kultural yang berkembang pada masa itu, kuatnya peran wali songo  dan ulama dalam mengembangkan ajaran dan spiritualitas keagamaan, telah  mendorong masyarakat mengembangkan pesantren sebagai institusi  pendidikan publik. Dengan spirit juang yang tinggi, wali songo, para  ulama, dan tokoh masyarakat pada masa lampau itu terus bergerak  memajukan pemikiran dan pendidikan masyarakat. Dorongan itulah yang  lantas melahirkan institusi pesantren dengan berbagai variasi dan  keunikannya.
 Daftar Pustaka:- Steenbrink. A DR Kareel, 1984, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke- 19, Jakarta : PT Bulan Bintang
- Mughits, Abdul, 2008, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Jakarta : Kencana Prenada Media Group
- Jamil, Abdul dkk, 2002, Islam dan Kebudayaan Jawa, Jakarta : Gama Media
- Haedari, HM Amin dkk, 2004, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangaan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, Jakarta : IRD PRESS
- Mas’ud, Abdurrahman, 2004, Intelektual Pesantren-Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta : LKiS

